Selasa, 16 Desember 2014

EYANG GAUL, GAK KEREN...

          Ditepi Sungai, ruang-ruang kelas belajar itu berdiri. Tua sudah bangunannya, se-sepuh guru-gurunya yang sebahagiannya, konon dulu juga guru dari ibu saat masih belajar dibangku SMP di Sekolah ini. Tepi sungai belakang sekolah itu pulalah yang menjadi tempat tongkrongan favorit bagi sebagian siswa yang kadang datang terlambat dan enggan masuk belajar. Meski tidak selalu aman, tapi tempat itu relatif memungkinkan mereka mengambil langkah seribu untuk ngacir ke belantara hutan, menghindari patroli guru yang konsen menangani 'siswa bermasalah' di sekolah saat itu.

           Ditumbuhi rimbunan pohon beringin besar yang banyak dengan akar belukar yang berjuntai kait- mengait mengesankannya 'angker'. Biawak, hewan melata pemangsa unggas, juga menjadi penghuni khasnya yang kadang membuat bergidik kala tiba-tiba muncul dari balik bongkahan batu atau dari sela-sela rimbunan belukar. Tidak jauh beda dengan persepsi penduduk yang domisili disekitarnya,  label keramatpun mereka sematkan di Sungai yang memiliki pancuran bambu dengan  mata air sejuk dan dimanfaatkan para siswa untuk berwudhu tiap kali waktu Dzuhur menjelang, kala itu.

          Pernah suatu ketika, didalam kelas belajar seorang siswi tiba-tiba meronta-ronta, tangisnya bercampur teriakan-teriakan tidak jelas. Bergegas beberapa teman dengan susah payah menahan amukannya dan membawanya ke UKS untuk ditenangkan. Tidak berselang lama desas-desus tentang 'penunggu' Sungai lagi beraksi, pun mengemuka.

          Sungai Lasetang. Yah... Itulah nama sungai belakang sekolah itu. Entah apa sejarah dibalik penamaannya. Hanya saja yang bisa dipahami dari nama itu, dalam aksara bugis "Lasetang" maknanya adalah "Sebutan untuk setan laki-laki". Gerangan adakah rangkaian peristiwa yang melatarinya hingga dinamai seperti itu? hingga belasan tahun sudah menamatkan sekolah di SMP tepi sungai  itu, belum juga kutahu pasti jawabnya.

          Yang nyata pembicaraan seputar setan bukan hanya fenomena klasik tentang sungai dibelakang Sekolah itu. Kini, di era teknologi informasi yang dunia seakan 'dilipat' perbincangan tentang setan justru semakin menghangat.  Praktek 'gaul' dengan setan bukan hanya dominasi dukun-dukun kelas kampung, bahkan sudah merambah dan 'menggauli' dukun-dukun metropolitan yang publik kenal luas.

          Dimana letak 'pesona' setan yang berasal dari kalangan jin itu ditemani 'bergaul'? Dalam banyak kasus jin-jin kafir itu kerjasama dengan sebagian pengikutnya dari kalangan manusia, memberi iming-iming untuk mewujudkan impian orang-orang yang lagi galau. Mulai dari impian untuk memikat gadis pujaan hati, menyembuhkan penyakit,  hingga menyiksa orang yang dibenci.

          Mirisnya, bantuan yang diperoleh dari jin itu tidak gratis, tapi dengan persyaratan. Dan umumnya persyaratan itu adalah bentuk ritual yang dapat mengantarkan pelaku dan atau perilakunya pada kekufuran. Mulai dari sembelihan untuk 'penunggu' kuburan, menjadikan orang mati sebagai tempat meminta, sampai pada menggantungkan jimat-jimat tertentu yang diyakini dapat menolak keburukan atau memberi kemanfaatan...

          Kian hari, teror yang disebarkan pengikut-pengikut jin kafir itu semakin masif dan kreatif saja. Ada banyak muslihat yang ditampilkan untuk mengaburkan  subtansi yang dibawanya. Embel-embel gelar Eyang, Mbah, Pawang, Tabib bahkan Ustadz pun kadang jadi jualan. Tapi satu hal mesti dipahami, tujuan mulia sekalipun tidak akan merubah praktik-praktik 'gaul' dengan jin yang menjadi jalan-jalan menuju kekufuran itu menjadi mulia. Kudu dijauhi...

          Karenanya apapun namanya, siapapun orangnya, bagaimanapun angkernya dan betapapun keramatnya kata orang, selagi dia adalah ciptaan-Nya. Maka tidak akan mampu memberikan secuilpun keburukan atau kemanfaatan kecuali dengan izin Penciptanya. Olehnya itu, jalan yang di tempuh untuk meraih tujuan yang baik seyogianya adalah jalan yang baik pula. Baik dalam ukuran Allah dan Rasul-Nya. Atau kalau tidak, bersabar adalah pilihan lainnya...

Selasa, 21 Oktober 2014

PUISI YANG MENGGUGAH

         Bebarapa tahun yang lalu, diawal-awal rencana pemerintah melakukan konversi dari bahan bakar minyak tanah ke gas, saya berkesampatan silaturrahim kerumah seorang yang sudah menjadi sahabat sejak SMP. Yah... Perjumpaan itu ibarat musim paceklik bagi kami berdua. Lepas wisuda sarjana dengan tuntutan hidup mandiri tanpa bergantung lagi dari biaya orang tua, sepertinya menjadi beban tersendiri.

             Seperti sebelum-sebelumnya, setiap kali bersua kami saling berbagi cerita tentang aktivitas masing-masing. "Honor ngajar Bahasa di pesantren dan bisnis kecil-kecilan dirumah..." Demikian jawaban sahabatku saat kutanyakan kesibukannya akhir-akhir ini.

         Lebih jauh dia berkisah tentang usaha kecil-kecilannya dengan membuka kios barang campuran di kolong rumah. Salah satu barang langka yang paling dicari waktu itu oleh warga setempat adalah minyak tanah. Maklumlah, awal konversi minyak tanah ke gas membawa trauma tersendiri bagi sebagian warga. Ekspos yang berlebihan di berbagai media terhadap ledakan tabung gas elpiji menjadi momok tersendiri yang menakutkan. Kondisi ini menjadi peluang bagi para pengusaha, tidak terkecuali sahabatku yang baru merintis usaha kecil-kecilannya.

         Alhasil, salah satu barang yang masuk daftar pengadaan adalah minyak tanah. Namun karena keterbatasan modal, untuk menjadi agen tidak memungkinkan. Akhirnya, setelah mencari dan mencari, sahabatku menemukan tempat pembelian minyak tanah bersubsidi yang dirasa pas dengan isi kantong. Lokasinya tidak lain adalah Koperasi Pesantren tempatnya mengajar. Demikianlah, saat hendak berangkat mengajar selain membawa bahan ajar, tidak ketinggalan pula menenteng dua jiregen kapasitas lima literan.

          Karena batasan pembelian minyak tanah bersubsidi di Koperasi Pesantren hanya lima liter per-orang per-hari. Jadinya, dititipkanlah jiregen kedua itu pada santri yang mondok. Selain memberikan tugas Bahasa ke santri, sahabatku ini juga memberi tugas membelikan minyak tanah bersubsidi di Koperasi Pesantren. Semuanya berjalan sesuai rencana, berangkat bawa dua jiregen kosong,  satu jiregen dipakai untuk membeli sendiri, satunya lagi lebih dulu titip di santri untuk membeli, pulang ambil jiregen titipan yang sudah terisi di pondokan santri dan dibawa untuk dijual dikios kolong rumah.

           Sampai suatu ketika. Di salah satu kelas Pesantren, sahabatku mengajarkan materi: Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia, dengan Kompetensi Dasar: Membuat dan membacakan puisi. Saat memberi kesempatan pada para santri membacakan puisi hasil gubahannya di depan kelas, tibalah giliran santri mondok yang saban hari dititipi jiregen. Iapun membacakan puisinya dengan lantang dan penuh penjiwaan, layaknya seorang pujangga...

         Dan... Yah, puisinya diluar dugaan Sang Guru. Judul puisinya adalah "Minyak Tanah...!". Bait demi bait bercerita tentang penderitaan warga akibat kelangkaan minyak tanah di tanah air. Entahlah itu kebetulan atau disengaja. Yang pasti, muka sahabatku merah padam dibuatnya. Apalagi dikelas itu rata-rata adalah santri mondok yang saban hari menyaksikan Sang Guru menitipkan jiregen untuk minta tolong dibelikan minyak tanah...

       Hari itu seperti hari simalakama baginya. Sedari awal, ia sudah dengan apik membimbing santri bagaimana metode menggubah puisi yang baik serta membacakannya dengan sepenuh hati. Dan semua itu seoptimal mungkin dilaksanakan oleh santri. Secara formal mestinya nilai puisinya nyaris sempurna. Namun direlung hati yang terdalam Sang Guru, seperti ada guratan luka yang menyayat dalam. Perih tak terkirakan. Ingin rasanya dia berikan nilai paling rendah pada santri itu...

        Refleks, saya tergelak setengah terbahak menyimak kisahnya waktu itu. Musim paceklik tahun itu terasa mencekik betul baginya. Selang setelah puisi itu... Tiada lagi jerigen-jerigen yang menyertai perjalanannya mengajar Bahasa. Dia berazam untuk tidak mengulangi lagi kekeliruan yang sama...

        Sudah berlalu beberapa tahun, kisah itu dituturkannya padaku. Tapi hingga hari ini bila saya merasa geli mengingat kisahnya. Saya seperti menertawai diri sendiri. Sang guru yang karena hawa nafsu, lantas menempuh jalan yang tidak lagi memperdulikan etika dan norma agama, acapkali adalah gambaran tentang diri sendiri yang berulangkali lalai dan keliru dalam menyikapi tuntutan dunia yang penuh dengan godaan ini. Si Santri yang menggubah puisi yang menyentil dalam, tak ubahnya adalah ilustrasi tentang orang-orang yang cerdas dan ikhlas dalam menasihati. Namun bahkan tidak jarang dituding balik sebagai sosok yang tidak beretika, serampangan, kurang ilmu dan berbagai predikat prasangka buruk lainnya. Padahal hati inilah yang kadang beku, membatu dan sangat sensitif dengan masukan betapapun sadar bahwa diri ini sering melakoni peran sebagai 'Tukang Petuah' itu. Tapi justru egois dan enggan menerima petuah.

         Akhirnya, Semoga Allah menjaga azam Sang Guru untuk terus berbenah, semoga Allah mengistiqomahkan Si Santri dengan puisi-puisinya yang menggugah. Semoga setiap peristiwa dalam hidup menjadi hikmah akan kasih sayang Allah yang menjaga hamba-Nya, meski dengan cara yang seringkali dibenci jiwa-jiwa yang rapuh...

Senin, 13 Oktober 2014

TIDAK SEMURAH JUALANNYA

       Selepas Dzuhur, hari masih diselimuti gerimis. siangpun masih terasa gelap. mendung berarak menggelayut di langit Libureng, sebuah Desa kecil yang dibelah jalan poros Pekke. Terusan jalan yang menghubungkan dua Kota Kabupaten kecil yang berjiran., Soppeng dan Sengkang. Segera saja kutancap gas sedikit terburu menuju kerumah demi menghindari hujan yang semakin lebat. Belum sampai limapuluh meter melaju, sudut mataku menangkap penjaja pisang seberang jalan. Ufhhh... hampir saja terluput pesanan istri untuk MPASI si bungsu di rumah. Yah... tinggal di pelosok, menjadikan kami mesti lihai memanfaatkan waktu berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak duapuluh empat jam tersedia, kecuali tiga hari pasar dalam sepekan yang beroperasi kadang tidak lebih dari tengah hari.

       Sigap kuberbalik arah menghampiri tempat dua Ibu paruh baya yang masih  menggelar dagangannya. Ada pemandangan khas yang kutemui tiap kali menyambangi tempat ini. Tampak khusyuk seorang diantaranya menunaikan shalat dzuhur, diemperan pasar yang terbuka. Seorang lainnya berjaga menunggu pembeli.
"Berapa ini bu?" tanyaku sambil menunjuk buah yang kupilih
"Lima ribu" jawabnya ramah.
"Yang ini saja bu.." Ucapku kemudian. Selang beberapa saat, kresek plastik berisi dua sisir pisang itu di berikannya seraya mengambil lembar uang lima ribuan dari tanganku.
"Terima kasih bu..." Tuturku menutup percakapan, sambil bergegas untuk segera kerumah, sebelum hujan turun lebih deras...

Hampir empat tahun sudah, aku mengenal ibu paruh baya itu. Bukan hanya karena buah pisang jualannya yang hampir setiap hari pasar kubeli ditiga tempat mangkal yang berbeda, tapi juga karena kejujurannya dalam berdagang dan kegigihannya mencari nafkah.

Suatu ketika seorang kerabat  memesan dicarikan madu hutan asli digunung sekitaran perbatasan Bulu Dua yang dingin itu. Diperjalanan, aku melihat sebuah kios kecil pinggir jalan yang diantara jejeran buah pisang yang digantung terdapat pula botol bekas syrup yang diisi ulang dengan  madu. Saat mampir dan hendak menanyakan harga madunya,  ternyata ibu paruh baya itu penjualnya..
"Asli madunya ini bu?" Tanyaku padanya
"Iya, Keluarga yang ambil digunung pak, kalo tidak asli boleh nanti dikembalikan" selorohnya meyakinkan.

Baru sejak saat itu saya tahu Sang Ibu tinggal dikios kecil tersebut. Jarak tempuh kios tempat tinggalnya untuk menuju lokasi menjajakan pisang ditiga pasar berbeda, mencapai puluhan kilometer. melintasi area perbatasan yang medannya cukup berat  demi untuk mengepulkan asap dapur..

Betapapun, sang Ibu paruh baya itu hanyalah potret kecil dari pengorbanan seorang ibu untuk keluarganya. Masih banyak sisi lain yang luput, dan itu boleh jadi membutuhkan perjuangan yang jauh  lebih berat. Mulai dari mengandung sembilan bulan, pertaruhan hidup-matinya dalam melahirkan, memberikan ASI esklusif, dan seterusnya hingga kita besar. Tidak sanggup lagi diingat tetesan peluhnya satu persatu..

Demi setelah memasuki hari tuanya, hari dimana mereka butuh perhatian. Justru kita kadang jauh darinya dan sibuk dengan urusan pribadi; sekolah dikampung orang, kuliah yang belum kelar-kelar, kerja yang menyibukkan, dan hal-hal lain yang membuat kita berjarak dengannya. Suatu waktu, dia mendahului. Seperti banyak orang katakan, berartinya sesuatu kadang baru terasa setelah tiada. Layanan gratis yang dulu kita nikmati dalam banyak hal, kini  baru dirasakan begitu mahal harganya.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita tidak pernah tahu bagaimana kondisinya dialam sana. Yang pasti, mereka tidak ingin anaknya menjadi 'kartu saham bodong', apalagi justru menjadi 'surat tagihan utang' dalam lembar catatannya

Apa gerangan yang bermanfaat baginya disana? Mungkin ada beberapa. Tapi paling tidak, kembali terus  membenahi diri dalam penghambaan yang benar kepada Allah, dengan seizin-Nya dapat menjadi ladang kebaikan yang tidak terputus baginya. Dan itu semua rasanya mustahil, tanpa kembali belajar Islam terus-menerus pada orang yang dapat menjadi teladan dalam ilmu dan amal...
Masihkah kita ingin?

Selasa, 23 September 2014

SEPUH SAJA BELUM CUKUP

      Ahad pagi itu, jalanan kota Makassar agak lengang. mungkin karena hari libur sehingga sebagian besar warga kota menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Suasana itu serasa mempersingkat waktu tempuh menuju ke "BM", satu dari sekian banyak pangkas rambut yang kukenal di kota ini yang berjarak sekira sepuluh kilometer dari rumah. Sampai disana, seperti dugaan sebelumnya kursi yang disediakan untuk layanan potong rambut sudah terisi semuanya. Maklum, seingat saya tempat yang kukenal sejak masih belajar di bangku salah satu STM Swasta di kota ini memang selalu kebanjiran pelanggan.

        Menunggu sekitar limabelas menitan, giliran itu tiba juga. Seakan kembali menikmati kerinduan akan kenangan belasan tahun lalu, dimana sentuhan Bapak tukang cukur yang sekarang terlihat semakin berumur dengan rambutnya yang mulai banyak beruban itu saya 'nikmati' hampir tiap bulan. Karena memang  Sekolah di Yayasan yang dikelola oleh pensiunan Panlima tentara jaman itu, mewajibkan siswanya berambut capak ala militer. Disiplin Sekolahpun terbilang 'keras', tak ayal pelanggaran kecil saja bisa dapat 'bonus' pukulan balok kayu ulin di betis oleh Guru BP. Plakk....!!! sekali ayun, betis lebam dan bikin jalan jadi pincang. Masih terbilang wajar perlakuan macam itu kala itu, sebab memang belum lahir UU Perlindungan anak yang penerapannya sekarang, menurutku kadang lebay juga...

     "Cukurnya nanti sambil makan es krim ya nak...". Bujuk sesosok Ibu ke anakanya yang usianya berkisar dua setengah tahun di sofa antrian, membuyarkanku dari ingatan masa-masa sekolah dulu itu. Raut muka bocah mungil yang polos itu tampak tegang melihat mesin cukur yang berkelebat memngkas rambut tiga orang dewasa yang sementara dicukur didepan matanya.
"Bapak bisa cukur anak saya, ya Pak...? Pinta Sang Ibu pada salah satu tukang cukur berkacamata tebal desebelah kiriku yang air mukanya jauh lebih sepuh dari dua tukang cukur lainnya.
"Mau yang bagaimanakah?"  Tanyanya pada Sang Ibu
"Yang dua milli, cukur rata saja Pak..." Jawab Sang Ibu
"Ya, nanti dilihat. yang penting jangan goyang!"  Kilahnya tegas sambil menyelesaikan sentuhan akhir pisau cukurnya pada seorang pelanggan. Tampak jelas dicermin, bocah lugu debelakangku itu seakan menahan kecemasannya menanti rambutnya 'dieksekusi'.
"Iya Pak, nanti dipegangin sama Ayahnya" Kata Sang Ibu menimpali.

       Tiba gilirannya, Si bocah kecil dipangku dan dipeluk bersama ayahnya duduk di kursi 'eksekusi' pas disebelah kiriku. Sang Ibu dengan es krim menyuapi si bocah yang kelihatan semakin tegang.
"Kita coba, Jangan goyang ya!" Sergah Bapak tukang cukur sepuh itu.
"Aaaa... Aaaa... Aaaa..., nda mau... Nda mau..." Teriak Sang Bocah sambil meronta melampiaskan ketegangannya yang sejak tadi tertahan.
"Ah..., kalo begini nda mau saya! Kalo goyang kena ujung mesin cukur yang runcing bisa bahaya ini!" Ketus Sang Tukang cukur sepuh meninggi penuh putus asa.
Sejurus kemudian mesin cukur diletakkannya tanda menyerah, sambil menceramahi kedua orang tua bocah itu fatalnya mencukur bila anak berontak.

Menyadari nuansa yang kurang enak, kedua orang tua bocah itu kembali kebelakang di sofa antrian sambil terus bercengkrama dengan buah hatinya. Seakan ingin mengubur
luka psikologis sang bocah terus dibujuk rayu laiknya tidak ada hal mengecewakan baru saja terjadi. Sementara Bapak Tukang Cukur sepuh tadi, keluar di teras depan meninggalkan pelanggannya didalam ruangan. Entah apa yang dibenaknya...

"Bawa sini pak... biar saya yang nyukur" kata Bapak Tukang Cukur yang kelihatan paling muda dibanding yang lainnya, pas desebelah kanan saya membuka pembicaraan. Setengah sumringah Ibu bocah kecil itu sigap kembali merayu buah hatinya. Seperti trauma, Bocah tiga tahunan itu meronta-ronta kala Sang Ayah membopong dan memangkunya duduk dikursi 'eksekusi' yang lain. "Ayo nak... Kita main pesawat yuk..., nih pesawatnya ya..." Bujuk Bapak Tukang Cukur muda itu sambil memperlihatkan mesin cukur pada Si Bocah.
"Ayo..., pesawatnya mulai terbang nih. Kita coba, ayo... Pesawatnya terbang diatas kepala ya? Ngeeeng... Ngeeng..." Akrab Sang Tukang Cukur menyapa Si Bocah sambil memangkas rambutnya dengan mesin cukur.
"Enak kan... Enak kan main pesawatnya, ayo.. Lagi nak... Pesawatnya lewat lagi nih..." Canda Tukang Cukur muda itu, sambil terus memangkas habis rambut lebat sang bocah... Sampai saya sudah selesai. Ekor mata saya menangkap rambut Si Bocah itu juga sudah hampir habis
selesai dibabat, takluk. Tanpa perlawanan sang bocah...

Saat keluar hendak pulang, Saya tersenyum simpul sendiri. Ada pelajaran yang sudah lama kubaca dan kudengar teorinya, tentang pentingnya komunikasi dan kelemah-
lembutan dalam mendidik orang lain. Kusaksikan praktiknya di Pangkas Rambut Madura ini. Terbayang kembali bentakanku pada Si Sulung yang baru 17 bulan, kala
menumpahkan air di kasur dan melemparkan gelasnya kelantai. Banyak kali sudah saya membentaknya, sebanyak itu pula dia mengulangi kesalahan yang sama...

Disekolah, beberapa siswa 'bermasalah' berkali-kali diberikan hukuman didepan umum. Sampai beberapa bulan, para siswa 'bermasalah' itu bukannya menjadi nunut.
Bahkan, pada beberapa guru yang menghardik dan memarahi, mereka justru menunjukkan sikap menantang!

Diranah yang orang sebut Dakwah, acapkali juga dijumpai tulisan-tulisan yang mengumbar dosa-dosa yang dilakukan
penguasa di halaman yang bisa dibaca semua orang. Tidak terhitung lagi jumlahnya, bacaan yang penuh semangat menjelaskan kesalahan-kesalahan penguasa yang diumbar kepublik. Tapi sampai hari ini dosa-dosa dan kesalahan yang diumbar itu, tidak juga kunjung ditinggalkan empunya...

Sejenak kita pikirkan sederhananya, kiranya kita berada pada posisi Si Sulung, Sang Siswa 'Bermasalah' atau sebagai penguasa. Boleh jadi ungkapan pameo klasik; "semut kecil yang diinjakpun akan menggigit" menjumpai pembenarannya bagi seorang bocah kecil yang saban hari dihardik, siswa yang terus dicap bermasalah, apalagi
kehormatan seorang penguasa yang dilecehkan kepublik. Sebab memang luka psikologis itu, seringkali lebih menyakitkan dan lebih sulit disembuhkan.

Karenanya menjadi 'Tukang Cukur muda yang luwes dan lihai bermain' ~dengan izin-Nya~sepertinya lebih diharapkan untuk menyampaikan kita pada tujuan yang diharapkan... Tentu saja, semoga masih ada bocah kecil yang tidak 'cengeng'. Semoga masih ada juga siswa yang dicap
'bermasalah', tapi justru mampu bangkit karenanya dan menjungkirbalikkan label-label itu. Kita juga merindu seorang penguasa tegar yang dapat mengambil manfaat
dari 'black campaign' sekalipun untuk terus berbenah dan introspeksi. Sebab memang sebaik-baik manusia adalah yang segera berbenah dari kesalahannya...
   


ISTANA ITU ADA DI RUMAH

      "Dia tinggal sama siapa nak?" Tanyaku pada siswa yang bertetangga dengan seorang anak yang sudah sebulan lebih tidak masuk sekolah.
"Sama sepupunya Pak..." Jawabnya datar.
"Sepupunya itu, kerjanya apa...?" Cecarku  lagi padanya.
"Sekolah Pak, di SMP Terbuka..." jelasnya menimpali.
Tinggal hanya berdua dengan seorang sepupu yang hampir seusia dengannya? Batinku menerawang, sedikit tertegun mendengar jawaban polosnya. Misteri mengapa anak ini tidak masuk sekolah sebulan terakhir, sepertinya mulai menemukan titik terangnya...

"Mmm... Kalau orang tuanya dimana?" Tanyaku menyelidik lebih dalam.
"Pergi merantau Pak..." Jawabnya ringan.
 Merantau... Jawaban yang sama. Persis kondisi orang tua beberapa siswa lainnya yang sudah drop out duluan dari sekolah ini. Rata-rata aktifitas mereka diluar sekolah jadi tidak terkendali karena tak ada lagi yang nyambung bicaranya dari hati ke hati. Mereka sepi dari kasih sayang dan perhatian orang tua. Akhirnya, penerimaan yang paling 'tulus' didapatkan dari lingkungan pergaulan. Sayangnya... Gaulnya  itu gaul pinggir jalan yang perilaku buruknya lebih mendominasi...

        Kisah tentang orang tua yang meninggalkan anaknya dikampung dan mengadu nasib ke pulau lain, bahkan sampai menjadi TKI ke Luar Negeri sebenarnya  bukanlah sesuatu yang baru. Sisi lain tentang cerita kegigihan orang tua dalam menghidupi keluarga dengan meninggalkan kampung halaman, mestinya juga diapresiasi. Hanya yang ironi, masa depan buah hati yang ditinggalkanpun pada sebagian keluarga menjadi terbengkalai...

      Alasan ekonomi yang menjadi dalih meninggalkan anak-anak dikampung, itu  juga tidak sepenuhnya benar. Kurang dari tujuh tahun lalu saya sempat tinggal setengah tahun di pulau tujuan rantauan kebanyakan orang tua siswa Sekolah ini. Dan pekerjaan dengan menjadi buruh pabrik atau buruh perkebunan yang digeluti disana, menurutku tidaklah lebih mentereng dengan menjadi buruh bangunan, bersawah atau berkebun dikampung sendiri. Gaji yang konon gedean disana dari kerja dikampung, faktanya  kurang lebih juga sebanding dengan biaya kontrakan dan kebutuhan pokok yang lebih mahal di propinsi industri itu. Hanya seringkali 'kerja kasar' di kampung orang dianggap lebih 'bermartabat', hanya karena sebutannya "pegawai perusahaan"  atau karena kabanggan sudah travelling kemana-mana...

       Itu hanyalah sepenggal dilema anak-anak keluarga perantau yang hidup di pedalaman. Dikeluarga lain yang relatif dianggap mapan dan berkecukupan, tidaklah sepi dari dilema yxang sama. Dua orang tua dengan pendidikan Sarjana, bahkan ada yang sudah sampai pada puncak gelar akademis, sibuk bekerja. Berangkat saat anak-anak baru terjaga dan datang kala seisi rumah telah terlelap.

      Dimasa baru melahirkan. Tiga bulan masa cuti berakhir, Susu Sapipun menggantikan ASI buat bayi. Padahal Sang Ibu tidak jarang adalah Tenaga Kesehatan yang ngerti gizi dari A sampai Z. Waktu untuk bersama anak-anak paling panjang, hanya ada pada akhir pekan. Padahal seringkali, Si Bapak seorang Tenaga Pendidik yang paham tentang mayoritas kasus anak bermasalah dalam pendidikan karena kurangnya perhatian orang tua dirumah. Buah hatipun besar diasuh dan dididik oleh inang yang kadang tidak tamat SD. Kontras dengan kedua orang tua yang pendidikannya menjulang dan gelarnya berjubel. Tapi sibuk mengurus dan mendidik anak orang lain agar menjadi sehat, cerdas dan sukses...

       Paradoks ini mengingatkan pada sebagian orang yang membangun asumsi; perbaikan ditingkat makro akan menjadi solusi semua persoalan mikro. Maka persyaratan negara yang makmur direpresentasikanlah dengan pemerintahan yang adil, bebas dari korupsi, dst,dst... Hingga sorotan para tokoh, penulis, pengamat, bahkan sebagian penyeru dakwah, kadang lebih banyak fokus pada evaluasi perbaikan diranah negara. Dan terkesan sedikit instrospeksi itu 'nyerempet' memuhasabah sudah sejauh mana pembenahan dilevel 'rumah sendiri' menjadi tema utama...

      Sudah barang tentu , tidak berarti pembenahan dilevel pemerintah bukan hal yang penting. Sebab kebaikan ditingkat atas memiliki efek domino yang luas. Kemaslahatannya dapat menjangkau seluruh sendi-sendi kehidupan. Hanya, bila saja semua orang sadar bahwa; person pejabat pemerintah yang 'bermasalah' hakikatnya adalah produk dari level terkecil dari  masyarakat yang kita sebut dengan keluarga. Dimana usia keemasan dalam pembentukan pondasi akhlak, dibangun dari sana. Niscaya, instrospeksi pendidikan dalam ranah keluarga seyogianya juga mendapat prioritas untuk menjadi tema sentral sebagai solusi membangun ganerasi masa depan yang lebih baik...

       Disisi lain, ditengah berbagai kesibukan. Ada saja orang yang relatif sukses membina di rumah sendiri. Sehingga waktunya untuk membenahi diri dan keluarga, dapat berjalan simultan dengan kesibukan aktifitas diranah publik. Akan tetapi, cahayanya tetaplah tidak beranjak dari peran keluarga sebagai energi yang menyalakannya. Mereka adalah orang tua yang kesibukannya, tidak mengurangi parhatian dan kasih sayangnya pada anak-anak. Lebih jauh, mereka lebih dahulu telah menyiapkan komunitas lingkungan pergaulan yang berkualitas dalam pembentukan jasadiyah dan ruhiyah, sebagai bagian dari 'keluarga besar' yang mendukung kegemilangan Sang buah hati...

       Demikian pula, masih ada sekelompok orang dari kalangan tokoh, penulis dan penyeru dakwah yang tidak letihnya menginspirasi banyak orang dengan menjadi teladan dalam menjadikan pendidikan diri dan keluarga dirumah sebagai pondasi membangun generasi baru yang kelak akan mengisi 'kepunahan' sebuah generasi antah-berantah...

        Adakah kita sudah ikhtiarkan hal yang sama?
Yah...bekerja diluar rumah sesibuk mungkin dengan alasan apapun, itu adalah pilihan. Tapi, mendidik diri dan keluarga merupakan kewajiban yang tanggung jawabnya akan kita pikul dunia dan akhirat. Demikian kata orang bijak memberi wejangan...