"Dia tinggal sama siapa nak?" Tanyaku pada siswa yang bertetangga dengan
seorang anak yang sudah sebulan lebih tidak masuk sekolah.
"Sama sepupunya Pak..." Jawabnya datar.
"Sepupunya itu, kerjanya apa...?" Cecarku lagi padanya.
"Sekolah Pak, di SMP Terbuka..." jelasnya menimpali.
Tinggal hanya berdua dengan seorang sepupu yang hampir seusia dengannya?
Batinku menerawang, sedikit tertegun mendengar jawaban polosnya.
Misteri mengapa anak ini tidak masuk sekolah sebulan terakhir,
sepertinya mulai menemukan titik terangnya...
"Mmm... Kalau orang tuanya dimana?" Tanyaku menyelidik lebih dalam.
"Pergi merantau Pak..." Jawabnya ringan.
Merantau... Jawaban yang sama. Persis kondisi orang tua beberapa siswa
lainnya yang sudah drop out duluan dari sekolah ini. Rata-rata aktifitas
mereka diluar sekolah jadi tidak terkendali karena tak ada lagi yang
nyambung bicaranya dari hati ke hati. Mereka sepi dari kasih sayang dan
perhatian orang tua. Akhirnya, penerimaan yang paling 'tulus' didapatkan
dari lingkungan pergaulan. Sayangnya... Gaulnya itu gaul pinggir jalan
yang perilaku buruknya lebih mendominasi...
Kisah tentang orang tua yang meninggalkan anaknya dikampung dan mengadu
nasib ke pulau lain, bahkan sampai menjadi TKI ke Luar Negeri
sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sisi lain tentang cerita
kegigihan orang tua dalam menghidupi keluarga dengan meninggalkan
kampung halaman, mestinya juga diapresiasi. Hanya yang ironi, masa depan
buah hati yang ditinggalkanpun pada sebagian keluarga menjadi
terbengkalai...
Alasan ekonomi yang menjadi dalih meninggalkan anak-anak dikampung, itu
juga tidak sepenuhnya benar. Kurang dari tujuh tahun lalu saya sempat
tinggal setengah tahun di pulau tujuan rantauan kebanyakan orang tua
siswa Sekolah ini. Dan pekerjaan dengan menjadi buruh pabrik atau buruh
perkebunan yang digeluti disana, menurutku tidaklah lebih mentereng
dengan menjadi buruh bangunan, bersawah atau berkebun dikampung sendiri.
Gaji yang konon gedean disana dari kerja dikampung, faktanya kurang
lebih juga sebanding dengan biaya kontrakan dan kebutuhan pokok yang
lebih mahal di propinsi industri itu. Hanya seringkali 'kerja kasar' di
kampung orang dianggap lebih 'bermartabat', hanya karena sebutannya
"pegawai perusahaan" atau karena kabanggan sudah travelling
kemana-mana...
Itu hanyalah sepenggal dilema anak-anak keluarga perantau yang hidup di
pedalaman. Dikeluarga lain yang relatif dianggap mapan dan berkecukupan,
tidaklah sepi dari dilema yxang sama. Dua orang tua dengan pendidikan
Sarjana, bahkan ada yang sudah sampai pada puncak gelar akademis, sibuk
bekerja. Berangkat saat anak-anak baru terjaga dan datang kala seisi
rumah telah terlelap.
Dimasa baru melahirkan. Tiga bulan masa cuti berakhir, Susu Sapipun
menggantikan ASI buat bayi. Padahal Sang Ibu tidak jarang adalah Tenaga
Kesehatan yang ngerti gizi dari A sampai Z. Waktu untuk bersama
anak-anak paling panjang, hanya ada pada akhir pekan. Padahal
seringkali, Si Bapak seorang Tenaga Pendidik yang paham tentang
mayoritas kasus anak bermasalah dalam pendidikan karena kurangnya
perhatian orang tua dirumah. Buah hatipun besar diasuh dan dididik oleh
inang yang kadang tidak tamat SD. Kontras dengan kedua orang tua yang
pendidikannya menjulang dan gelarnya berjubel. Tapi sibuk mengurus dan
mendidik anak orang lain agar menjadi sehat, cerdas dan sukses...
Paradoks ini mengingatkan pada sebagian orang yang membangun asumsi;
perbaikan ditingkat makro akan menjadi solusi semua persoalan mikro.
Maka persyaratan negara yang makmur direpresentasikanlah dengan
pemerintahan yang adil, bebas dari korupsi, dst,dst... Hingga sorotan
para tokoh, penulis, pengamat, bahkan sebagian penyeru dakwah, kadang
lebih banyak fokus pada evaluasi perbaikan diranah negara. Dan terkesan
sedikit instrospeksi itu 'nyerempet' memuhasabah sudah sejauh mana
pembenahan dilevel 'rumah sendiri' menjadi tema utama...
Sudah barang tentu , tidak berarti pembenahan dilevel pemerintah bukan
hal yang penting. Sebab kebaikan ditingkat atas memiliki efek domino
yang luas. Kemaslahatannya dapat menjangkau seluruh sendi-sendi
kehidupan. Hanya, bila saja semua orang sadar bahwa; person pejabat
pemerintah yang 'bermasalah' hakikatnya adalah produk dari level
terkecil dari masyarakat yang kita sebut dengan keluarga. Dimana usia
keemasan dalam pembentukan pondasi akhlak, dibangun dari sana. Niscaya,
instrospeksi pendidikan dalam ranah keluarga seyogianya juga mendapat
prioritas untuk menjadi tema sentral sebagai solusi membangun ganerasi
masa depan yang lebih baik...
Disisi lain, ditengah berbagai kesibukan. Ada saja orang yang relatif
sukses membina di rumah sendiri. Sehingga waktunya untuk membenahi diri
dan keluarga, dapat berjalan simultan dengan kesibukan aktifitas diranah
publik. Akan tetapi, cahayanya tetaplah tidak beranjak dari peran
keluarga sebagai energi yang menyalakannya. Mereka adalah orang tua yang
kesibukannya, tidak mengurangi parhatian dan kasih sayangnya pada
anak-anak. Lebih jauh, mereka lebih dahulu telah menyiapkan komunitas
lingkungan pergaulan yang berkualitas dalam pembentukan jasadiyah dan
ruhiyah, sebagai bagian dari 'keluarga besar' yang mendukung
kegemilangan Sang buah hati...
Demikian pula, masih ada sekelompok orang dari kalangan tokoh, penulis
dan penyeru dakwah yang tidak letihnya menginspirasi banyak orang dengan
menjadi teladan dalam menjadikan pendidikan diri dan keluarga dirumah
sebagai pondasi membangun generasi baru yang kelak akan mengisi
'kepunahan' sebuah generasi antah-berantah...
Adakah kita sudah ikhtiarkan hal yang sama?
Yah...bekerja diluar rumah sesibuk mungkin dengan alasan apapun, itu
adalah pilihan. Tapi, mendidik diri dan keluarga merupakan kewajiban
yang tanggung jawabnya akan kita pikul dunia dan akhirat. Demikian kata
orang bijak memberi wejangan...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar