Selasa, 23 September 2014

ISTANA ITU ADA DI RUMAH

      "Dia tinggal sama siapa nak?" Tanyaku pada siswa yang bertetangga dengan seorang anak yang sudah sebulan lebih tidak masuk sekolah.
"Sama sepupunya Pak..." Jawabnya datar.
"Sepupunya itu, kerjanya apa...?" Cecarku  lagi padanya.
"Sekolah Pak, di SMP Terbuka..." jelasnya menimpali.
Tinggal hanya berdua dengan seorang sepupu yang hampir seusia dengannya? Batinku menerawang, sedikit tertegun mendengar jawaban polosnya. Misteri mengapa anak ini tidak masuk sekolah sebulan terakhir, sepertinya mulai menemukan titik terangnya...

"Mmm... Kalau orang tuanya dimana?" Tanyaku menyelidik lebih dalam.
"Pergi merantau Pak..." Jawabnya ringan.
 Merantau... Jawaban yang sama. Persis kondisi orang tua beberapa siswa lainnya yang sudah drop out duluan dari sekolah ini. Rata-rata aktifitas mereka diluar sekolah jadi tidak terkendali karena tak ada lagi yang nyambung bicaranya dari hati ke hati. Mereka sepi dari kasih sayang dan perhatian orang tua. Akhirnya, penerimaan yang paling 'tulus' didapatkan dari lingkungan pergaulan. Sayangnya... Gaulnya  itu gaul pinggir jalan yang perilaku buruknya lebih mendominasi...

        Kisah tentang orang tua yang meninggalkan anaknya dikampung dan mengadu nasib ke pulau lain, bahkan sampai menjadi TKI ke Luar Negeri sebenarnya  bukanlah sesuatu yang baru. Sisi lain tentang cerita kegigihan orang tua dalam menghidupi keluarga dengan meninggalkan kampung halaman, mestinya juga diapresiasi. Hanya yang ironi, masa depan buah hati yang ditinggalkanpun pada sebagian keluarga menjadi terbengkalai...

      Alasan ekonomi yang menjadi dalih meninggalkan anak-anak dikampung, itu  juga tidak sepenuhnya benar. Kurang dari tujuh tahun lalu saya sempat tinggal setengah tahun di pulau tujuan rantauan kebanyakan orang tua siswa Sekolah ini. Dan pekerjaan dengan menjadi buruh pabrik atau buruh perkebunan yang digeluti disana, menurutku tidaklah lebih mentereng dengan menjadi buruh bangunan, bersawah atau berkebun dikampung sendiri. Gaji yang konon gedean disana dari kerja dikampung, faktanya  kurang lebih juga sebanding dengan biaya kontrakan dan kebutuhan pokok yang lebih mahal di propinsi industri itu. Hanya seringkali 'kerja kasar' di kampung orang dianggap lebih 'bermartabat', hanya karena sebutannya "pegawai perusahaan"  atau karena kabanggan sudah travelling kemana-mana...

       Itu hanyalah sepenggal dilema anak-anak keluarga perantau yang hidup di pedalaman. Dikeluarga lain yang relatif dianggap mapan dan berkecukupan, tidaklah sepi dari dilema yxang sama. Dua orang tua dengan pendidikan Sarjana, bahkan ada yang sudah sampai pada puncak gelar akademis, sibuk bekerja. Berangkat saat anak-anak baru terjaga dan datang kala seisi rumah telah terlelap.

      Dimasa baru melahirkan. Tiga bulan masa cuti berakhir, Susu Sapipun menggantikan ASI buat bayi. Padahal Sang Ibu tidak jarang adalah Tenaga Kesehatan yang ngerti gizi dari A sampai Z. Waktu untuk bersama anak-anak paling panjang, hanya ada pada akhir pekan. Padahal seringkali, Si Bapak seorang Tenaga Pendidik yang paham tentang mayoritas kasus anak bermasalah dalam pendidikan karena kurangnya perhatian orang tua dirumah. Buah hatipun besar diasuh dan dididik oleh inang yang kadang tidak tamat SD. Kontras dengan kedua orang tua yang pendidikannya menjulang dan gelarnya berjubel. Tapi sibuk mengurus dan mendidik anak orang lain agar menjadi sehat, cerdas dan sukses...

       Paradoks ini mengingatkan pada sebagian orang yang membangun asumsi; perbaikan ditingkat makro akan menjadi solusi semua persoalan mikro. Maka persyaratan negara yang makmur direpresentasikanlah dengan pemerintahan yang adil, bebas dari korupsi, dst,dst... Hingga sorotan para tokoh, penulis, pengamat, bahkan sebagian penyeru dakwah, kadang lebih banyak fokus pada evaluasi perbaikan diranah negara. Dan terkesan sedikit instrospeksi itu 'nyerempet' memuhasabah sudah sejauh mana pembenahan dilevel 'rumah sendiri' menjadi tema utama...

      Sudah barang tentu , tidak berarti pembenahan dilevel pemerintah bukan hal yang penting. Sebab kebaikan ditingkat atas memiliki efek domino yang luas. Kemaslahatannya dapat menjangkau seluruh sendi-sendi kehidupan. Hanya, bila saja semua orang sadar bahwa; person pejabat pemerintah yang 'bermasalah' hakikatnya adalah produk dari level terkecil dari  masyarakat yang kita sebut dengan keluarga. Dimana usia keemasan dalam pembentukan pondasi akhlak, dibangun dari sana. Niscaya, instrospeksi pendidikan dalam ranah keluarga seyogianya juga mendapat prioritas untuk menjadi tema sentral sebagai solusi membangun ganerasi masa depan yang lebih baik...

       Disisi lain, ditengah berbagai kesibukan. Ada saja orang yang relatif sukses membina di rumah sendiri. Sehingga waktunya untuk membenahi diri dan keluarga, dapat berjalan simultan dengan kesibukan aktifitas diranah publik. Akan tetapi, cahayanya tetaplah tidak beranjak dari peran keluarga sebagai energi yang menyalakannya. Mereka adalah orang tua yang kesibukannya, tidak mengurangi parhatian dan kasih sayangnya pada anak-anak. Lebih jauh, mereka lebih dahulu telah menyiapkan komunitas lingkungan pergaulan yang berkualitas dalam pembentukan jasadiyah dan ruhiyah, sebagai bagian dari 'keluarga besar' yang mendukung kegemilangan Sang buah hati...

       Demikian pula, masih ada sekelompok orang dari kalangan tokoh, penulis dan penyeru dakwah yang tidak letihnya menginspirasi banyak orang dengan menjadi teladan dalam menjadikan pendidikan diri dan keluarga dirumah sebagai pondasi membangun generasi baru yang kelak akan mengisi 'kepunahan' sebuah generasi antah-berantah...

        Adakah kita sudah ikhtiarkan hal yang sama?
Yah...bekerja diluar rumah sesibuk mungkin dengan alasan apapun, itu adalah pilihan. Tapi, mendidik diri dan keluarga merupakan kewajiban yang tanggung jawabnya akan kita pikul dunia dan akhirat. Demikian kata orang bijak memberi wejangan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar