![]() |
Menunggu sekitar limabelas menitan, giliran itu tiba juga. Seakan kembali menikmati kerinduan akan kenangan belasan tahun lalu, dimana sentuhan Bapak tukang cukur yang sekarang terlihat semakin berumur dengan rambutnya yang mulai banyak beruban itu saya 'nikmati' hampir tiap bulan. Karena memang Sekolah di Yayasan yang dikelola oleh pensiunan Panlima tentara jaman itu, mewajibkan siswanya berambut capak ala militer. Disiplin Sekolahpun terbilang 'keras', tak ayal pelanggaran kecil saja bisa dapat 'bonus' pukulan balok kayu ulin di betis oleh Guru BP. Plakk....!!! sekali ayun, betis lebam dan bikin jalan jadi pincang. Masih terbilang wajar perlakuan macam itu kala itu, sebab memang belum lahir UU Perlindungan anak yang penerapannya sekarang, menurutku kadang lebay juga...
"Cukurnya nanti sambil makan es krim ya nak...". Bujuk sesosok Ibu ke anakanya yang usianya berkisar dua setengah tahun di sofa antrian, membuyarkanku dari ingatan masa-masa sekolah dulu itu. Raut muka bocah mungil yang polos itu tampak tegang melihat mesin cukur yang berkelebat memngkas rambut tiga orang dewasa yang sementara dicukur didepan matanya.
"Bapak bisa cukur anak saya, ya Pak...? Pinta Sang Ibu pada salah satu tukang cukur berkacamata tebal desebelah kiriku yang air mukanya jauh lebih sepuh dari dua tukang cukur lainnya.
"Mau yang bagaimanakah?" Tanyanya pada Sang Ibu
"Yang dua milli, cukur rata saja Pak..." Jawab Sang Ibu
"Ya, nanti dilihat. yang penting jangan goyang!" Kilahnya tegas sambil menyelesaikan sentuhan akhir pisau cukurnya pada seorang pelanggan. Tampak jelas dicermin, bocah lugu debelakangku itu seakan menahan kecemasannya menanti rambutnya 'dieksekusi'.
"Iya Pak, nanti dipegangin sama Ayahnya" Kata Sang Ibu menimpali.
Tiba gilirannya, Si bocah kecil dipangku dan dipeluk bersama ayahnya duduk di kursi 'eksekusi' pas disebelah kiriku. Sang Ibu dengan es krim menyuapi si bocah yang kelihatan semakin tegang.
"Kita coba, Jangan goyang ya!" Sergah Bapak tukang cukur sepuh itu.
"Aaaa... Aaaa... Aaaa..., nda mau... Nda mau..." Teriak Sang Bocah sambil meronta melampiaskan ketegangannya yang sejak tadi tertahan.
"Ah..., kalo begini nda mau saya! Kalo goyang kena ujung mesin cukur yang runcing bisa bahaya ini!" Ketus Sang Tukang cukur sepuh meninggi penuh putus asa.
Sejurus kemudian mesin cukur diletakkannya tanda menyerah, sambil menceramahi kedua orang tua bocah itu fatalnya mencukur bila anak berontak.
Menyadari nuansa yang kurang enak, kedua orang tua bocah itu kembali kebelakang di sofa antrian sambil terus bercengkrama dengan buah hatinya. Seakan ingin mengubur
luka psikologis sang bocah terus dibujuk rayu laiknya tidak ada hal mengecewakan baru saja terjadi. Sementara Bapak Tukang Cukur sepuh tadi, keluar di teras depan meninggalkan pelanggannya didalam ruangan. Entah apa yang dibenaknya...
"Bawa sini pak... biar saya yang nyukur" kata Bapak Tukang Cukur yang kelihatan paling muda dibanding yang lainnya, pas desebelah kanan saya membuka pembicaraan. Setengah sumringah Ibu bocah kecil itu sigap kembali merayu buah hatinya. Seperti trauma, Bocah tiga tahunan itu meronta-ronta kala Sang Ayah membopong dan memangkunya duduk dikursi 'eksekusi' yang lain. "Ayo nak... Kita main pesawat yuk..., nih pesawatnya ya..." Bujuk Bapak Tukang Cukur muda itu sambil memperlihatkan mesin cukur pada Si Bocah.
"Ayo..., pesawatnya mulai terbang nih. Kita coba, ayo... Pesawatnya terbang diatas kepala ya? Ngeeeng... Ngeeng..." Akrab Sang Tukang Cukur menyapa Si Bocah sambil memangkas rambutnya dengan mesin cukur.
"Enak kan... Enak kan main pesawatnya, ayo.. Lagi nak... Pesawatnya lewat lagi nih..." Canda Tukang Cukur muda itu, sambil terus memangkas habis rambut lebat sang bocah... Sampai saya sudah selesai. Ekor mata saya menangkap rambut Si Bocah itu juga sudah hampir habis
selesai dibabat, takluk. Tanpa perlawanan sang bocah...
Saat keluar hendak pulang, Saya tersenyum simpul sendiri. Ada pelajaran yang sudah lama kubaca dan kudengar teorinya, tentang pentingnya komunikasi dan kelemah-
lembutan dalam mendidik orang lain. Kusaksikan praktiknya di Pangkas Rambut Madura ini. Terbayang kembali bentakanku pada Si Sulung yang baru 17 bulan, kala
menumpahkan air di kasur dan melemparkan gelasnya kelantai. Banyak kali sudah saya membentaknya, sebanyak itu pula dia mengulangi kesalahan yang sama...
Disekolah, beberapa siswa 'bermasalah' berkali-kali diberikan hukuman didepan umum. Sampai beberapa bulan, para siswa 'bermasalah' itu bukannya menjadi nunut.
Bahkan, pada beberapa guru yang menghardik dan memarahi, mereka justru menunjukkan sikap menantang!
Diranah yang orang sebut Dakwah, acapkali juga dijumpai tulisan-tulisan yang mengumbar dosa-dosa yang dilakukan
penguasa di halaman yang bisa dibaca semua orang. Tidak terhitung lagi jumlahnya, bacaan yang penuh semangat menjelaskan kesalahan-kesalahan penguasa yang diumbar kepublik. Tapi sampai hari ini dosa-dosa dan kesalahan yang diumbar itu, tidak juga kunjung ditinggalkan empunya...
Sejenak kita pikirkan sederhananya, kiranya kita berada pada posisi Si Sulung, Sang Siswa 'Bermasalah' atau sebagai penguasa. Boleh jadi ungkapan pameo klasik; "semut kecil yang diinjakpun akan menggigit" menjumpai pembenarannya bagi seorang bocah kecil yang saban hari dihardik, siswa yang terus dicap bermasalah, apalagi
kehormatan seorang penguasa yang dilecehkan kepublik. Sebab memang luka psikologis itu, seringkali lebih menyakitkan dan lebih sulit disembuhkan.
Karenanya menjadi 'Tukang Cukur muda yang luwes dan lihai bermain' ~dengan izin-Nya~sepertinya lebih diharapkan untuk menyampaikan kita pada tujuan yang diharapkan... Tentu saja, semoga masih ada bocah kecil yang tidak 'cengeng'. Semoga masih ada juga siswa yang dicap
'bermasalah', tapi justru mampu bangkit karenanya dan menjungkirbalikkan label-label itu. Kita juga merindu seorang penguasa tegar yang dapat mengambil manfaat
dari 'black campaign' sekalipun untuk terus berbenah dan introspeksi. Sebab memang sebaik-baik manusia adalah yang segera berbenah dari kesalahannya...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar