Selepas Dzuhur, hari masih diselimuti gerimis. siangpun masih terasa gelap. mendung berarak menggelayut di langit Libureng, sebuah Desa kecil yang dibelah jalan poros Pekke. Terusan jalan yang menghubungkan dua Kota Kabupaten kecil yang berjiran., Soppeng dan Sengkang. Segera saja kutancap gas sedikit terburu menuju kerumah demi menghindari hujan yang semakin lebat. Belum sampai limapuluh meter melaju, sudut mataku menangkap penjaja pisang seberang jalan. Ufhhh... hampir saja terluput pesanan istri untuk MPASI si bungsu di rumah. Yah... tinggal di pelosok, menjadikan kami mesti lihai memanfaatkan waktu berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak duapuluh empat jam tersedia, kecuali tiga hari pasar dalam sepekan yang beroperasi kadang tidak lebih dari tengah hari.Sigap kuberbalik arah menghampiri tempat dua Ibu paruh baya yang masih menggelar dagangannya. Ada pemandangan khas yang kutemui tiap kali menyambangi tempat ini. Tampak khusyuk seorang diantaranya menunaikan shalat dzuhur, diemperan pasar yang terbuka. Seorang lainnya berjaga menunggu pembeli.
"Berapa ini bu?" tanyaku sambil menunjuk buah yang kupilih
"Lima ribu" jawabnya ramah.
"Yang ini saja bu.." Ucapku kemudian. Selang beberapa saat, kresek plastik berisi dua sisir pisang itu di berikannya seraya mengambil lembar uang lima ribuan dari tanganku.
"Terima kasih bu..." Tuturku menutup percakapan, sambil bergegas untuk segera kerumah, sebelum hujan turun lebih deras...
Hampir empat tahun sudah, aku mengenal ibu paruh baya itu. Bukan hanya karena buah pisang jualannya yang hampir setiap hari pasar kubeli ditiga tempat mangkal yang berbeda, tapi juga karena kejujurannya dalam berdagang dan kegigihannya mencari nafkah.
Suatu ketika seorang kerabat memesan dicarikan madu hutan asli digunung sekitaran perbatasan Bulu Dua yang dingin itu. Diperjalanan, aku melihat sebuah kios kecil pinggir jalan yang diantara jejeran buah pisang yang digantung terdapat pula botol bekas syrup yang diisi ulang dengan madu. Saat mampir dan hendak menanyakan harga madunya, ternyata ibu paruh baya itu penjualnya..
"Asli madunya ini bu?" Tanyaku padanya
"Iya, Keluarga yang ambil digunung pak, kalo tidak asli boleh nanti dikembalikan" selorohnya meyakinkan.
Baru sejak saat itu saya tahu Sang Ibu tinggal dikios kecil tersebut. Jarak tempuh kios tempat tinggalnya untuk menuju lokasi menjajakan pisang ditiga pasar berbeda, mencapai puluhan kilometer. melintasi area perbatasan yang medannya cukup berat demi untuk mengepulkan asap dapur..
Betapapun, sang Ibu paruh baya itu hanyalah potret kecil dari pengorbanan seorang ibu untuk keluarganya. Masih banyak sisi lain yang luput, dan itu boleh jadi membutuhkan perjuangan yang jauh lebih berat. Mulai dari mengandung sembilan bulan, pertaruhan hidup-matinya dalam melahirkan, memberikan ASI esklusif, dan seterusnya hingga kita besar. Tidak sanggup lagi diingat tetesan peluhnya satu persatu..
Demi setelah memasuki hari tuanya, hari dimana mereka butuh perhatian. Justru kita kadang jauh darinya dan sibuk dengan urusan pribadi; sekolah dikampung orang, kuliah yang belum kelar-kelar, kerja yang menyibukkan, dan hal-hal lain yang membuat kita berjarak dengannya. Suatu waktu, dia mendahului. Seperti banyak orang katakan, berartinya sesuatu kadang baru terasa setelah tiada. Layanan gratis yang dulu kita nikmati dalam banyak hal, kini baru dirasakan begitu mahal harganya.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita tidak pernah tahu bagaimana kondisinya dialam sana. Yang pasti, mereka tidak ingin anaknya menjadi 'kartu saham bodong', apalagi justru menjadi 'surat tagihan utang' dalam lembar catatannya
Apa gerangan yang bermanfaat baginya disana? Mungkin ada beberapa. Tapi paling tidak, kembali terus membenahi diri dalam penghambaan yang benar kepada Allah, dengan seizin-Nya dapat menjadi ladang kebaikan yang tidak terputus baginya. Dan itu semua rasanya mustahil, tanpa kembali belajar Islam terus-menerus pada orang yang dapat menjadi teladan dalam ilmu dan amal...
Masihkah kita ingin?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar