Bebarapa tahun yang lalu, diawal-awal rencana pemerintah melakukan
konversi dari bahan bakar minyak tanah ke gas, saya berkesampatan
silaturrahim kerumah seorang yang sudah menjadi sahabat sejak SMP.
Yah... Perjumpaan itu ibarat musim paceklik bagi kami berdua. Lepas
wisuda sarjana dengan tuntutan hidup mandiri tanpa bergantung lagi dari
biaya orang tua, sepertinya menjadi beban tersendiri.
Seperti sebelum-sebelumnya, setiap kali bersua kami saling berbagi
cerita tentang aktivitas masing-masing. "Honor ngajar Bahasa di
pesantren dan bisnis kecil-kecilan dirumah..." Demikian jawaban
sahabatku saat kutanyakan kesibukannya akhir-akhir ini.
Lebih jauh dia berkisah tentang usaha kecil-kecilannya dengan membuka
kios barang campuran di kolong rumah. Salah satu barang langka yang
paling dicari waktu itu oleh warga setempat adalah minyak tanah.
Maklumlah, awal konversi minyak tanah ke gas membawa trauma tersendiri
bagi sebagian warga. Ekspos yang berlebihan di berbagai media terhadap
ledakan tabung gas elpiji menjadi momok tersendiri yang menakutkan.
Kondisi ini menjadi peluang bagi para pengusaha, tidak terkecuali
sahabatku yang baru merintis usaha kecil-kecilannya.
Alhasil, salah satu barang yang masuk daftar pengadaan adalah minyak
tanah. Namun karena keterbatasan modal, untuk menjadi agen tidak
memungkinkan. Akhirnya, setelah mencari dan mencari, sahabatku menemukan
tempat pembelian minyak tanah bersubsidi yang dirasa pas dengan isi
kantong. Lokasinya tidak lain adalah Koperasi Pesantren tempatnya
mengajar. Demikianlah, saat hendak berangkat mengajar selain membawa
bahan ajar, tidak ketinggalan pula menenteng dua jiregen kapasitas lima
literan.
Karena batasan pembelian minyak tanah bersubsidi di Koperasi Pesantren
hanya lima liter per-orang per-hari. Jadinya, dititipkanlah jiregen
kedua itu pada santri yang mondok. Selain memberikan tugas Bahasa ke
santri, sahabatku ini juga memberi tugas membelikan minyak tanah
bersubsidi di Koperasi Pesantren. Semuanya berjalan sesuai rencana,
berangkat bawa dua jiregen kosong, satu jiregen dipakai untuk membeli
sendiri, satunya lagi lebih dulu titip di santri untuk membeli, pulang
ambil jiregen titipan yang sudah terisi di pondokan santri dan dibawa
untuk dijual dikios kolong rumah.
Sampai suatu ketika. Di salah satu kelas Pesantren, sahabatku
mengajarkan materi: Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia, dengan
Kompetensi Dasar: Membuat dan membacakan puisi. Saat memberi kesempatan
pada para santri membacakan puisi hasil gubahannya di depan kelas,
tibalah giliran santri mondok yang saban hari dititipi jiregen. Iapun
membacakan puisinya dengan lantang dan penuh penjiwaan, layaknya seorang
pujangga...
Dan... Yah, puisinya diluar dugaan Sang Guru. Judul puisinya adalah
"Minyak Tanah...!". Bait demi bait bercerita tentang penderitaan warga
akibat kelangkaan minyak tanah di tanah air. Entahlah itu kebetulan atau
disengaja. Yang pasti, muka sahabatku merah padam dibuatnya. Apalagi
dikelas itu rata-rata adalah santri mondok yang saban hari menyaksikan
Sang Guru menitipkan jiregen untuk minta tolong dibelikan minyak
tanah...
Hari itu seperti hari simalakama baginya. Sedari awal, ia sudah dengan
apik membimbing santri bagaimana metode menggubah puisi yang baik serta
membacakannya dengan sepenuh hati. Dan semua itu seoptimal mungkin
dilaksanakan oleh santri. Secara formal mestinya nilai puisinya nyaris
sempurna. Namun direlung hati yang terdalam Sang Guru, seperti ada
guratan luka yang menyayat dalam. Perih tak terkirakan. Ingin rasanya
dia berikan nilai paling rendah pada santri itu...
Refleks, saya tergelak setengah terbahak menyimak kisahnya waktu itu.
Musim paceklik tahun itu terasa mencekik betul baginya. Selang setelah
puisi itu... Tiada lagi jerigen-jerigen yang menyertai perjalanannya
mengajar Bahasa. Dia berazam untuk tidak mengulangi lagi kekeliruan yang
sama...
Sudah berlalu beberapa tahun, kisah itu dituturkannya padaku. Tapi
hingga hari ini bila saya merasa geli mengingat kisahnya. Saya seperti
menertawai diri sendiri. Sang guru yang karena hawa nafsu, lantas
menempuh jalan yang tidak lagi memperdulikan etika dan norma agama,
acapkali adalah gambaran tentang diri sendiri yang berulangkali lalai
dan keliru dalam menyikapi tuntutan dunia yang penuh dengan godaan ini.
Si Santri yang menggubah puisi yang menyentil dalam, tak ubahnya adalah
ilustrasi tentang orang-orang yang cerdas dan ikhlas dalam menasihati.
Namun bahkan tidak jarang dituding balik sebagai sosok yang tidak
beretika, serampangan, kurang ilmu dan berbagai predikat prasangka buruk
lainnya. Padahal hati inilah yang kadang beku, membatu dan sangat
sensitif dengan masukan betapapun sadar bahwa diri ini sering melakoni
peran sebagai 'Tukang Petuah' itu. Tapi justru egois dan enggan menerima
petuah.
Akhirnya, Semoga Allah menjaga azam Sang Guru untuk terus berbenah,
semoga Allah mengistiqomahkan Si Santri dengan puisi-puisinya yang
menggugah. Semoga setiap peristiwa dalam hidup menjadi hikmah akan kasih
sayang Allah yang menjaga hamba-Nya, meski dengan cara yang seringkali
dibenci jiwa-jiwa yang rapuh...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar