Selasa, 21 Oktober 2014

PUISI YANG MENGGUGAH

         Bebarapa tahun yang lalu, diawal-awal rencana pemerintah melakukan konversi dari bahan bakar minyak tanah ke gas, saya berkesampatan silaturrahim kerumah seorang yang sudah menjadi sahabat sejak SMP. Yah... Perjumpaan itu ibarat musim paceklik bagi kami berdua. Lepas wisuda sarjana dengan tuntutan hidup mandiri tanpa bergantung lagi dari biaya orang tua, sepertinya menjadi beban tersendiri.

             Seperti sebelum-sebelumnya, setiap kali bersua kami saling berbagi cerita tentang aktivitas masing-masing. "Honor ngajar Bahasa di pesantren dan bisnis kecil-kecilan dirumah..." Demikian jawaban sahabatku saat kutanyakan kesibukannya akhir-akhir ini.

         Lebih jauh dia berkisah tentang usaha kecil-kecilannya dengan membuka kios barang campuran di kolong rumah. Salah satu barang langka yang paling dicari waktu itu oleh warga setempat adalah minyak tanah. Maklumlah, awal konversi minyak tanah ke gas membawa trauma tersendiri bagi sebagian warga. Ekspos yang berlebihan di berbagai media terhadap ledakan tabung gas elpiji menjadi momok tersendiri yang menakutkan. Kondisi ini menjadi peluang bagi para pengusaha, tidak terkecuali sahabatku yang baru merintis usaha kecil-kecilannya.

         Alhasil, salah satu barang yang masuk daftar pengadaan adalah minyak tanah. Namun karena keterbatasan modal, untuk menjadi agen tidak memungkinkan. Akhirnya, setelah mencari dan mencari, sahabatku menemukan tempat pembelian minyak tanah bersubsidi yang dirasa pas dengan isi kantong. Lokasinya tidak lain adalah Koperasi Pesantren tempatnya mengajar. Demikianlah, saat hendak berangkat mengajar selain membawa bahan ajar, tidak ketinggalan pula menenteng dua jiregen kapasitas lima literan.

          Karena batasan pembelian minyak tanah bersubsidi di Koperasi Pesantren hanya lima liter per-orang per-hari. Jadinya, dititipkanlah jiregen kedua itu pada santri yang mondok. Selain memberikan tugas Bahasa ke santri, sahabatku ini juga memberi tugas membelikan minyak tanah bersubsidi di Koperasi Pesantren. Semuanya berjalan sesuai rencana, berangkat bawa dua jiregen kosong,  satu jiregen dipakai untuk membeli sendiri, satunya lagi lebih dulu titip di santri untuk membeli, pulang ambil jiregen titipan yang sudah terisi di pondokan santri dan dibawa untuk dijual dikios kolong rumah.

           Sampai suatu ketika. Di salah satu kelas Pesantren, sahabatku mengajarkan materi: Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia, dengan Kompetensi Dasar: Membuat dan membacakan puisi. Saat memberi kesempatan pada para santri membacakan puisi hasil gubahannya di depan kelas, tibalah giliran santri mondok yang saban hari dititipi jiregen. Iapun membacakan puisinya dengan lantang dan penuh penjiwaan, layaknya seorang pujangga...

         Dan... Yah, puisinya diluar dugaan Sang Guru. Judul puisinya adalah "Minyak Tanah...!". Bait demi bait bercerita tentang penderitaan warga akibat kelangkaan minyak tanah di tanah air. Entahlah itu kebetulan atau disengaja. Yang pasti, muka sahabatku merah padam dibuatnya. Apalagi dikelas itu rata-rata adalah santri mondok yang saban hari menyaksikan Sang Guru menitipkan jiregen untuk minta tolong dibelikan minyak tanah...

       Hari itu seperti hari simalakama baginya. Sedari awal, ia sudah dengan apik membimbing santri bagaimana metode menggubah puisi yang baik serta membacakannya dengan sepenuh hati. Dan semua itu seoptimal mungkin dilaksanakan oleh santri. Secara formal mestinya nilai puisinya nyaris sempurna. Namun direlung hati yang terdalam Sang Guru, seperti ada guratan luka yang menyayat dalam. Perih tak terkirakan. Ingin rasanya dia berikan nilai paling rendah pada santri itu...

        Refleks, saya tergelak setengah terbahak menyimak kisahnya waktu itu. Musim paceklik tahun itu terasa mencekik betul baginya. Selang setelah puisi itu... Tiada lagi jerigen-jerigen yang menyertai perjalanannya mengajar Bahasa. Dia berazam untuk tidak mengulangi lagi kekeliruan yang sama...

        Sudah berlalu beberapa tahun, kisah itu dituturkannya padaku. Tapi hingga hari ini bila saya merasa geli mengingat kisahnya. Saya seperti menertawai diri sendiri. Sang guru yang karena hawa nafsu, lantas menempuh jalan yang tidak lagi memperdulikan etika dan norma agama, acapkali adalah gambaran tentang diri sendiri yang berulangkali lalai dan keliru dalam menyikapi tuntutan dunia yang penuh dengan godaan ini. Si Santri yang menggubah puisi yang menyentil dalam, tak ubahnya adalah ilustrasi tentang orang-orang yang cerdas dan ikhlas dalam menasihati. Namun bahkan tidak jarang dituding balik sebagai sosok yang tidak beretika, serampangan, kurang ilmu dan berbagai predikat prasangka buruk lainnya. Padahal hati inilah yang kadang beku, membatu dan sangat sensitif dengan masukan betapapun sadar bahwa diri ini sering melakoni peran sebagai 'Tukang Petuah' itu. Tapi justru egois dan enggan menerima petuah.

         Akhirnya, Semoga Allah menjaga azam Sang Guru untuk terus berbenah, semoga Allah mengistiqomahkan Si Santri dengan puisi-puisinya yang menggugah. Semoga setiap peristiwa dalam hidup menjadi hikmah akan kasih sayang Allah yang menjaga hamba-Nya, meski dengan cara yang seringkali dibenci jiwa-jiwa yang rapuh...

Senin, 13 Oktober 2014

TIDAK SEMURAH JUALANNYA

       Selepas Dzuhur, hari masih diselimuti gerimis. siangpun masih terasa gelap. mendung berarak menggelayut di langit Libureng, sebuah Desa kecil yang dibelah jalan poros Pekke. Terusan jalan yang menghubungkan dua Kota Kabupaten kecil yang berjiran., Soppeng dan Sengkang. Segera saja kutancap gas sedikit terburu menuju kerumah demi menghindari hujan yang semakin lebat. Belum sampai limapuluh meter melaju, sudut mataku menangkap penjaja pisang seberang jalan. Ufhhh... hampir saja terluput pesanan istri untuk MPASI si bungsu di rumah. Yah... tinggal di pelosok, menjadikan kami mesti lihai memanfaatkan waktu berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari yang tidak duapuluh empat jam tersedia, kecuali tiga hari pasar dalam sepekan yang beroperasi kadang tidak lebih dari tengah hari.

       Sigap kuberbalik arah menghampiri tempat dua Ibu paruh baya yang masih  menggelar dagangannya. Ada pemandangan khas yang kutemui tiap kali menyambangi tempat ini. Tampak khusyuk seorang diantaranya menunaikan shalat dzuhur, diemperan pasar yang terbuka. Seorang lainnya berjaga menunggu pembeli.
"Berapa ini bu?" tanyaku sambil menunjuk buah yang kupilih
"Lima ribu" jawabnya ramah.
"Yang ini saja bu.." Ucapku kemudian. Selang beberapa saat, kresek plastik berisi dua sisir pisang itu di berikannya seraya mengambil lembar uang lima ribuan dari tanganku.
"Terima kasih bu..." Tuturku menutup percakapan, sambil bergegas untuk segera kerumah, sebelum hujan turun lebih deras...

Hampir empat tahun sudah, aku mengenal ibu paruh baya itu. Bukan hanya karena buah pisang jualannya yang hampir setiap hari pasar kubeli ditiga tempat mangkal yang berbeda, tapi juga karena kejujurannya dalam berdagang dan kegigihannya mencari nafkah.

Suatu ketika seorang kerabat  memesan dicarikan madu hutan asli digunung sekitaran perbatasan Bulu Dua yang dingin itu. Diperjalanan, aku melihat sebuah kios kecil pinggir jalan yang diantara jejeran buah pisang yang digantung terdapat pula botol bekas syrup yang diisi ulang dengan  madu. Saat mampir dan hendak menanyakan harga madunya,  ternyata ibu paruh baya itu penjualnya..
"Asli madunya ini bu?" Tanyaku padanya
"Iya, Keluarga yang ambil digunung pak, kalo tidak asli boleh nanti dikembalikan" selorohnya meyakinkan.

Baru sejak saat itu saya tahu Sang Ibu tinggal dikios kecil tersebut. Jarak tempuh kios tempat tinggalnya untuk menuju lokasi menjajakan pisang ditiga pasar berbeda, mencapai puluhan kilometer. melintasi area perbatasan yang medannya cukup berat  demi untuk mengepulkan asap dapur..

Betapapun, sang Ibu paruh baya itu hanyalah potret kecil dari pengorbanan seorang ibu untuk keluarganya. Masih banyak sisi lain yang luput, dan itu boleh jadi membutuhkan perjuangan yang jauh  lebih berat. Mulai dari mengandung sembilan bulan, pertaruhan hidup-matinya dalam melahirkan, memberikan ASI esklusif, dan seterusnya hingga kita besar. Tidak sanggup lagi diingat tetesan peluhnya satu persatu..

Demi setelah memasuki hari tuanya, hari dimana mereka butuh perhatian. Justru kita kadang jauh darinya dan sibuk dengan urusan pribadi; sekolah dikampung orang, kuliah yang belum kelar-kelar, kerja yang menyibukkan, dan hal-hal lain yang membuat kita berjarak dengannya. Suatu waktu, dia mendahului. Seperti banyak orang katakan, berartinya sesuatu kadang baru terasa setelah tiada. Layanan gratis yang dulu kita nikmati dalam banyak hal, kini  baru dirasakan begitu mahal harganya.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita tidak pernah tahu bagaimana kondisinya dialam sana. Yang pasti, mereka tidak ingin anaknya menjadi 'kartu saham bodong', apalagi justru menjadi 'surat tagihan utang' dalam lembar catatannya

Apa gerangan yang bermanfaat baginya disana? Mungkin ada beberapa. Tapi paling tidak, kembali terus  membenahi diri dalam penghambaan yang benar kepada Allah, dengan seizin-Nya dapat menjadi ladang kebaikan yang tidak terputus baginya. Dan itu semua rasanya mustahil, tanpa kembali belajar Islam terus-menerus pada orang yang dapat menjadi teladan dalam ilmu dan amal...
Masihkah kita ingin?