Ditumbuhi rimbunan pohon beringin besar yang banyak dengan akar belukar yang berjuntai kait- mengait mengesankannya 'angker'. Biawak, hewan melata pemangsa unggas, juga menjadi penghuni khasnya yang kadang membuat bergidik kala tiba-tiba muncul dari balik bongkahan batu atau dari sela-sela rimbunan belukar. Tidak jauh beda dengan persepsi penduduk yang domisili disekitarnya, label keramatpun mereka sematkan di Sungai yang memiliki pancuran bambu dengan mata air sejuk dan dimanfaatkan para siswa untuk berwudhu tiap kali waktu Dzuhur menjelang, kala itu.
Pernah suatu ketika, didalam kelas belajar seorang siswi tiba-tiba meronta-ronta, tangisnya bercampur teriakan-teriakan tidak jelas. Bergegas beberapa teman dengan susah payah menahan amukannya dan membawanya ke UKS untuk ditenangkan. Tidak berselang lama desas-desus tentang 'penunggu' Sungai lagi beraksi, pun mengemuka.
Sungai Lasetang. Yah... Itulah nama sungai belakang sekolah itu. Entah apa sejarah dibalik penamaannya. Hanya saja yang bisa dipahami dari nama itu, dalam aksara bugis "Lasetang" maknanya adalah "Sebutan untuk setan laki-laki". Gerangan adakah rangkaian peristiwa yang melatarinya hingga dinamai seperti itu? hingga belasan tahun sudah menamatkan sekolah di SMP tepi sungai itu, belum juga kutahu pasti jawabnya.
Yang nyata pembicaraan seputar setan bukan hanya fenomena klasik tentang sungai dibelakang Sekolah itu. Kini, di era teknologi informasi yang dunia seakan 'dilipat' perbincangan tentang setan justru semakin menghangat. Praktek 'gaul' dengan setan bukan hanya dominasi dukun-dukun kelas kampung, bahkan sudah merambah dan 'menggauli' dukun-dukun metropolitan yang publik kenal luas.
Dimana letak 'pesona' setan yang berasal dari kalangan jin itu ditemani 'bergaul'? Dalam banyak kasus jin-jin kafir itu kerjasama dengan sebagian pengikutnya dari kalangan manusia, memberi iming-iming untuk mewujudkan impian orang-orang yang lagi galau. Mulai dari impian untuk memikat gadis pujaan hati, menyembuhkan penyakit, hingga menyiksa orang yang dibenci.
Mirisnya, bantuan yang diperoleh dari jin itu tidak gratis, tapi dengan persyaratan. Dan umumnya persyaratan itu adalah bentuk ritual yang dapat mengantarkan pelaku dan atau perilakunya pada kekufuran. Mulai dari sembelihan untuk 'penunggu' kuburan, menjadikan orang mati sebagai tempat meminta, sampai pada menggantungkan jimat-jimat tertentu yang diyakini dapat menolak keburukan atau memberi kemanfaatan...
Kian hari, teror yang disebarkan pengikut-pengikut jin kafir itu semakin masif dan kreatif saja. Ada banyak muslihat yang ditampilkan untuk mengaburkan subtansi yang dibawanya. Embel-embel gelar Eyang, Mbah, Pawang, Tabib bahkan Ustadz pun kadang jadi jualan. Tapi satu hal mesti dipahami, tujuan mulia sekalipun tidak akan merubah praktik-praktik 'gaul' dengan jin yang menjadi jalan-jalan menuju kekufuran itu menjadi mulia. Kudu dijauhi...
Karenanya apapun namanya, siapapun orangnya, bagaimanapun angkernya dan betapapun keramatnya kata orang, selagi dia adalah ciptaan-Nya. Maka tidak akan mampu memberikan secuilpun keburukan atau kemanfaatan kecuali dengan izin Penciptanya. Olehnya itu, jalan yang di tempuh untuk meraih tujuan yang baik seyogianya adalah jalan yang baik pula. Baik dalam ukuran Allah dan Rasul-Nya. Atau kalau tidak, bersabar adalah pilihan lainnya...